Semangat Asmat dari Terpuruk Gizi Buruk

Awal 2018 media massa nasional ramai menyoroti kasus gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan, korban meninggal dunia akibat gizi buruk mencapai 72 anak. Ada 66 anak meninggal karena campak dan enam anak lainnya disebabkan oleh gizi buruk. Dari jumlah tersebut delapan anak meninggal dunia di rumah sakit dan sisanya meninggal dunia di kampung-kampung.
Status Kejadian Luar Biasa (KLB) disematkan akibat kasus ini dalam kurun waktu sekitar dua bulan. Pada 5 februari 2018 status KLB dicabut namun pasca dicabutnya status KLB, masih ada beberapa korban anak meninggal dunia susulan. Di kutip dari laman BBC Indonesia, salah satunya korban meninggal dunia pasca dicabutnya status KLB adalah anak usia lima tahun bernama Priskila pada 4 maret 2018.
Satu tahun lebih berlalu, Kabupaten Asmat berangsur keluar dari kasus gizi buruk. Tim relawan doctorSHARE melihat perbedaan kondisi saat awal datang pada 2018 dengan 2019. Tim juga mendengar penuturan langsung dari tokoh masyarakat di Asmat. Kepala Kampung Kaimong, Yohanes Biswar mengaku bersyukur dengan keadaan yang semakin membaik.
“Sudah membaik dan setelah kejadian tahun lalu mulai banyak bantuan masuk dari pemerintah. Dinas kesehatan dan beberapa Lembaga sering memberikan penyuluhan mengenai pola makan sehat dan peduli lingkungan,” ucap Yohanes.
Kampung Kaimong yang dipimpin oleh Yohanes berada di Distrik Siret, Kabupaten Asmat. Yohanes mengatakan satu tahun lalu anak-anak banyak yang menderita gizi buruk bahkan ada pula yang meninggal dunia. Sedikit demi sedikit kesadaran masyarakat mulai terbentuk akan pentingnya makanan sehat. Pendampingan juga dilakukan Dinas Kesehatan melalui program-program makanan bergizi.
Pernyataan Yohanes senada dengan pengakuan seorang dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) dari Manado yang bertugas di Distrik Suator, dr. Wulan. Wulan sudah bertugas selama sembilan bulan di Distrik Suator. Menurutnya kasus gizi buruk pada 2018 memang menjadi kasus terparah yang terjadi di Asmat. Ramainya pemberitaan membawa dampak baik bagi Asmat, bantuan berdatangan dari pemerintah dan swasta.
“Program pemerintah yang masih berjalan sampai saat ini adalah 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Dalam program 1000 HPK ada beberapa kegiatan seperti penyuluhan untuk ibu hamil, menjaga asupan gizi pada anak usia dini dan ibu hamil agar nutrisi ibu dan anak terjaga,” kata Wulan.
Wulan menambahkan masalah yang masih ada adalah kurangnya tenaga medis. Ia menjadi satu-satunya dokter yang bertugas di Distrik Suator dengan status Dokter PTT. Menurutnya baru Distrik Agats yang dirasa pelayanan kesehatannya cukup terpenuhi karena status Agats sebagai ibukota Kabupaten Asmat.
Kendala Akses Transportasi
Akses transportasi menjadi salah satu faktor belum meratanya pelayanan kesehatan di Asmat. Kondisi medan berupa rawa-rawa dan bangunan rumah-rumah panggung membuat moda transportasi darat tidak maksimal di wilayah ini. Akses menuju Asmat hanya bisa ditempuh dengan jalur udara dan laut. Penerbangan dari dan menuju Asmat masih terbatas sehingga masyarakat memilih jalur laut sebagai alternatif.
Menempuh jalur laut bukan berarti tanpa hambatan, masyarakat menggunakan speedboat dengan waktu tempuh lima jam dari Pelabuhan Pomako, Timika. Jika memilih kapal milik Pelni tentu akan lebih lama, sekitar delapan sampai sepuluh jam. Waktu tersebut ditempuh jika kondisi cuaca dan ombak sedang normal, akan lebih lama jika dalam kondisi cuaca buruk dan ombak tinggi.
Waktu tempuh yang disebutkan diatas adalah waktu tempuh antara Timika dengan Agats. Masyarakat yang masih melanjutkan menuju distrik-distrik lain perlu merogoh kantong lebih dalam. Distrik Suator misalnya, butuh waktu lima jam menyusuri sungai dan rawa dengan speedboat. Ongkos yang perlu dikeluarkan sekitar Rp400.000-600.000 untuk satu kali sewa speedboat.
Distrik terjauh di Kabupaten Asmat bisa ditempuh dengan 12 jam perjalanan laut. Waktu tersebut sudah ditempuh menggunakan perahu bermesin, beberapa warga masih ada yang mengandalkan perahu dengan dayung. Keadaan akses jalan dan transportasi yang terbatas menjadi kendala saat hendak menyamaratakan layanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.